A. Pengertian Tajdîd
Tajdîd secara kebahasaan (lughawi) berarti pembaharuan, yakni proses
memperbaharui sesuatu yang dipandang usang atau rusak. Adapun secara isthilahi,
sebagaimana ditegaskan oleh Imam al-Syatibi, seperti dikutip oleh Syaikh Alawi,
tajdîd berarti menghidupkan ajaran Quran dan Sunnah
yang telah banyak ditinggalkan umatnya, dan memurnikan pemahaman dan pengamalan
agama Islam dari hal-hal yang tidak berasal dari Islam (Alawy bin
Abdul Qadir As-Saqaf, 2001: 22).
Majelis Tarjih Muhammadiyah dalam Muktamar Tarjih
ke XXII, 1989 di Malang
merumus makna tajdîd sebagai berikut:
Dari segi bahasa, tajdîd berarti
pembaharuan; dan dari segi istilah, tajdîd memiliki dua arti,
yakni: (1) Pemurnian, dan (2) Peningkatan, pengembangan, modernisasi dan yang
semakna dengannya.
Pemurnian sebagai
arti tajdîd yang pertama, dimaksudkan sebagai pemeliharaan matan
ajaran Islam yang berdasarkan dan bersumber kepada Al-Quran dan Sunnah Shahîhah (Maqbûlah).
Sedangkan arti
peningkatan, pengembangan, modernisasi dan yang semakna dengannya, tajdîd dimaksudkan sebagai
penafsiran, pengamalan, dan perwujudan ajaran Islam dengan tetap berpegang
teguh kepada Al-Quran dan Sunnah Shahîhah .
Untuk melaksanakan tajdîd dengan pengertian
di atas, diperlukan aktualisasi akal pikiran yang cerdas dan fitri, serta akal
budi yang bersih, yang dijiwai oleh ajaran Islam. Dalam hal ini Muhammadiyah
berpendirian, tajdid adalah merupakan salah satu watak dari ajaran Islam. Pengertian
atau batasan makna tajdîd ala Muhammadiyah tersebut sesuai dengan pesan yang
terkandung dalam hadits Rasulullah yang berbunyi:
عَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِنَّ
اللهَ يَبْعَثُ لِهَذِهِ الأُمَّةِ عَلَى رَأْسِ كُلِّ مِائَةِ سَنَةٍ مَنْ يُجَدِّدُ
لَهَا أمْرَ دِيْنِهَا (رواه أبو داود)
Dari Abu Hurairah ia berkata:
Rasulullah bersabda: “Sesungguhnya Allah mengutus bagi umat ini (Islam) pada
setiap penghujung seratus tahun seseorang yang akan memperbaharui (mengadakan
pembaharuan) bagi agamanya” (Diriwayatkan oleh Imam Abu Dawud) (Muhammad Syamsul Haq
al-Azhim, 1979: 380).
B. Tujuan Tajdîd
Tajdîd dengan pengertian
seperti itu, bertujuan untuk memfungsikan Islam sebagai hudan, furqân dan rahmatan lil
‘âlamîn, termasuk mendasari dan membimbing perkembangan kehidupan
masyarakat, ilmu pengetahuan dan teknologi. Dengan demikian, tajdîd, bagi Muhammadiyah,
harus senantiasa berpijak dari Al-Qur’an dan Al-Sunnah, dan selanjutnya juga
bermuara pada implementasi atas nilai-nilai ajaran Al-Qur’an dan Al-Sunnah.
Artinya, betapapun Muhammadiyah mengadopsi berbagai model pembaharuan dalam
aspek pengembangan sumberdaya manusia, manajemen organisasi, strategi dakwah
dan kebudayannya, tetapi Muhammadiyah selalu menunjukkan konsistensinya untuk
kembali kepada spirit Al-Qur’an dan Al-Sunnah.
C. Dimensi Tajdîd
Dimensi tajdid dalam Muhammadiyah meliputi: (1)
Pemurnian aqidah dan ibadah, serta pembentukan akhlak mulia (al-akhlâq al-karîmah); (2) Pembangunan sikap hidup dinamis, kreatif, progressif, dan
berwawasan masa depan; dan (3) Pengembangan kepemimpinan organisasi dan etos
kerja dalam Pesyarikatan Muhammadiyah.
Putusan
Muktamar Tarjih ke XXII, 1989 di Malang di atas menjadi pijakan Muhammadiyah
dalam merespon perubahan masyarakat yang semakin kompleks, baik di bidang
nilai-nilai kehidupan, sosial budaya, sosial ekonomi, politik dan sebagainya,
dengan pesan pengarahan risalah Islam, yang dipahami secara dinamis dan
konsisten terhadap pemurnian ajaran Islam. Dalam konteks tugas khusus Majelis
Tarjih dan Tajdid yang membidangi pendalaman pemahaman dan pengamalan ajaran
Islam serta pengembangan pemikiran Islam, konsep tajdîd
di atas menjadi pijakan dalam mengawal perkembangan pemikiran keislaman baik
bagi internal Muhammadiyah maupun dalam merespon perkembangan pemikiran Islam
secara umum.
D. Makna Tajdîd dalam
Sejarah Islam
Dalam
perkembangan sejarah Islam, tajdîd juga dipahami
sebagai pembaharuan dalam kehidupan keagamaan, baik berbentuk pemikiran maupun
gerakan, sebagai reaksi atau tanggapan terhadap tantangan internal maupun
eksternal yang menyangkut keyakinan dengan urusan sosial umat Islam. Istilah tajdîd atau
pembaharuan juga sering digunakan dalam konteks gerakan Islam modern. Istilah ini juga mempunyai akar yang kuat pada Islam klasik (pra modern).
Tajdîd pada masa klasik biasanya dihubungkan dengan
upaya purifikasi untuk memperbaharui iman dan praktek Muslim. Tajdîd mempunyai makna memperkuat dimensi spiritual iman dan praktek, seperti
terlihat dalam karya al-Ghazali Ihyâ’ ‘Ulûm al-Dîn dan karya Ibnu
Taimiyah al-Radd ‘alâ al-Hulûliyah wa al- Ittihâdiyah. Pada masa modern,
tajdîd adalah upaya para salafi dan modernis Islam
untuk memperkenalkan pengaruh Islam dalam kehidupan Muslim. Dengan demikian,
ada dua kecenderungan di sini, yakni kecenderungan salafi dan reformis/modernis
(Khalil, 1995: 431).
Pertama, kecenderungan gerakan salafi (seperti Muhammad Ibn Abdul Wahhab).
Gerakan salafi sama sekali tidak berkaitan dengan pengaruh Barat. Gerakan ini
lebih mengutamakan upaya pemurnian aqidah Islam dari bahaya tahayul dan
khurafat; juga pemurnian ibadah dari bahaya bid’ah. Gerakan ini berusaha
membersihkan praktek dan pemikiran keagamaan dari unsur-unsur asing dengan
menekankan pada tauhid. Ziarah dan pensucian atas para wali atau makam mereka
ditolak karena mengandung kemusyrikan. Islam harus menjadi petunjuk hidup
Muslim. Gerakan ini belum melihat kebutuhan untuk mereinterpretasi Islam agar
sesuai dengan kehidupan modern, karena orientasinya pada masalah-masalah aqidah
dan ubudiyah (Khalil, 1995: 432).
Kedua, kecenderungan gerakan reformis/modernis (seperti: Jamaluddin al-Afghani
dan Muhammad Abduh). Gerakan ini memandang masyarakat muslim gagal menangkap
spirit kemajuan dan perkembangan dalam seluruh aspek kehidupan yang telah
dicapai Eropa. Para reformis tidak bermaksud
mengundang westernisasi. Mereka justru mengkritik kebutaan dunia Muslim dalam
melihat cara-cara Barat memperoleh kemajuan, mereka berusaha memperbaiki
martabat kebesaran Muslim, dan Arab melalui peremajaan pemikiran dan praktek
Islam (Dewan Redaksi Ensiklopedi Islam, 1993: 42). Dengan demikian, gerakan
reformis/modernis berkaitan erat dengan Barat; berusaha merespon tantangan
sebagai akibat kontak dengan Barat. Umat Islam sadar akan keterbelakangan dan
stagnasi budaya dunia Islam. Mereka tidak hanya yakin bahwa Islam sesuai dengan
sains, bahkan percaya bahwa kemajuan Eropa adalah hasil kontribusi peradaban
Islam/Arab, mengakui peran akal bahkan menolak bahwa akal tidak sesuai dengan
iman. Pembaharuan akan gagal jika ulama Muslim terus menganjurkan taqlîd. Taqlîd ditolak karena
merupakan faktor terbesar stagnasi budaya di dunia Islam/Arab dan menyebabkan orang
beriman tergantung pada tafsir-tafsir lama. Pembaharuan di mata
reformis/modernis adalah memperbaharui agama itu sendiri (lihat misalnya
penggunaan definisi ini pada judul karya M. Iqbal, Reconstruction of
Religious Thought in Islam, New
Delhi , 1985) bukan karena Islam sudah tidak memadai,
tetapi karena interpretasi dan reinterpretasi Islam adalah proses
berkesinambungan. Mereka menganjurkan ijtihad, karena dengan ijtihad, problem
modernitas dapat direspon dengan jawaban modern.
Perhatian utama para
reformis berkaitan dengan upaya perbaikan pendidikan, status perempuan dalam
masyarakat, politik, nasionalisme dan upaya modernisasi seluruh aspek kehidupan
lainnya. Perbaikan pendidikan meliputi penyerapan sains; dan temuan-temuan baru
ke dalam kurikulum institusi belajar Islam; modernisasi pendidikan sipil dengan
tujuan untuk memberi kontribusi bagi kemajuan bangsa. Untuk mendudukan perempuan
pada posisi yang adil, reformis menolak anggapan inferioritas mereka dalam
bidang sosial dan hukum. Ketertindasan perempuan di dunia Islam adalah hasil
dari kebodohan dan salah tafsir terhadap teks-teks Islam.
Reformis juga memandang
keyakinan bahwa ulama tidak harus tunduk pada penguasa politik, kecuali dalam
hal-hal yang berbahaya bagi kepentingan Muslim. Ulama hanya tunduk pada Tuhan
dan bukan pada penguasa demi upah atau hadiah. Ulama harus berpikir independen
dan tahan terhadap tekanan politik. Akhirnya, para reformis juga mengkaitkan
upaya pembaharuan dengan kesadaran nasionalisme bangsa-bangsa Muslim untuk
menentang penjajahan Eropa dan mendirikan negara-bangsa yang berdaulat. Dengan
demikian, pambaharuan meliputi dimensi internal dan eksternal, dan kedua
dimensi ini harus didekati secara simultan.
Berikut ini adalah
contoh tokoh-tokoh utama yang melakukan gerakan pembaharuan Islam klasik dan
modern, baik salafi maupun reformis.
E. Tokoh Pembaharu pada Periode Klasik sampai
Modern
1. Ibnu Taimiyah (1263-1328)
Nama lengkapnya Taqiyuddin Abu Abbas Ahmad, lahir di Harran ,
Turki pada 22 Januari 1263, dan meninggal pada 27 September 1328 . Ia berasal dari keluarga
cendekiawan. Ayahnya bernama Shihabuddin Abdul Halim seorang ahli hadits dan ulama
terkenal di Damascus ;
demikian juga kakeknya, Syekh Majuddin Abdul Salam, adalah ulama terkemuka.
Mereka semua adalah pemuka dalam mazhab Hambali. Ibnu Taimiyah belajar Al-Qur’an
dan hadits dari ayahnya, kemudian sekolah di Damascus . Pada usia 10 tahun ia telah
mempelajari kitab-kitab hadits utama, hafal Al-Qur’an, belajar ilmu hitung dan
sebagainya. Kemudian ia tertarik mendalami ilmu kalam dan filsafat yang menjadi
keahliannya. Karena penguasaannya di bidang kalam, filsafat, hadits, Al-Qur’an,
tafsir dan fikih, pada usia 30 tahun ia sudah menjadi ulama besar pada
zamannya. Ibnu Taimiyah kuat memegang ajaran kaum salaf. Ia juga seorang
penulis yang tekun dan produktif. Karyanya berjumlah 500 jilid.
Corak pemikiran Ibnu Taimiyah bersifat empiris sekaligus rasionalis.
Empiris dalam arti bahwa ia mengakui kebenaran itu hanya ada dalam kenyataan,
bukan dalam pemikiran (al-haqîqah fi al-a’yân la fi al-adhhân),
dan rasionalis dalam arti ia tidak mempertentangkan antara akal dengan naql
(Al-Qur’an dan hadits) yang sahih. Ia menolak logika sebagai metode berpikir
deduktif yang tidak dapat digunakan untuk mengkaji materi keislaman secara
hakiki. Materi keislaman empiris hanya dapat diketahui melalui eksperimen dan
pengamatan langsung (Dewan Redaksi Ensiklopedi Islam, 1993: 169). Adapun
beberapa upaya pembaharuannya antara lain sebagai berikut.
Pertama, sebagian besar aktivitasnya diarahkan untuk
memurnikan paham tauhid. la menentang segala bentuk bid’ah, takhayul
dan khurafat. Menurutnya, aqidah tauhid yang benar adalah aqidah salaf,
aqidah yang bersumber dari teks Al-Qur’an dan hadits, bukan diambil dari
dalil-dalil rasional dan filosofis. Dalam menjelaskan sifat-sifat Allah, ia
mengemukakan bahwa sifat-sifat Allah secara jelas termaktub dalam Al-Qur’an dan
hadits. Pendapat yang membatasi sifat Allah pada sifat dua puluh dan pendapat
yang menafikan sifat-sifat Allah, bertentangan dengan aqidah salaf. Walaupun ia
menetapkan adanya sifat-sifat Allah, ia menolak mempersamakan sifat-sifat Allah
dengan sifat-sifat makhluk. Ibnu Taimiyah menetapkan sifat-sifat Allah tanpa tamtsîl (menyamakan sifat-sifat Allah dengan sifat-sifat makhluk) dan tanzih
(menafikan sifat-sifat Tuhan). Ia juga gigih menentang penggunaan ta’wîl dalam menjelaskan sifat-sifat Allah. Ta’wîl kata “yad” (tangan) dengan kekuasaan tidak dapat diterimanya. Ia
tetap mempertahankan arti “yad” dengan tangan. Demikian pula dengan ayat-ayat mutasyâbihât lainnya. Inilah yang ia sebut al-aqîdah al-wâsithiyah.
Kedua, ia menggalakkan umat Islam agar bergairah kembali
menggali ajaran-ajaran Al-Qur’an dan hadits, serta mendorong mereka melakukan
ijtihad dalam menafsirkan ajaran-ajaran agama. Menurutnya, metode penafsiran Al-Qur’an
yang terbaik adalah tafsir Al-Qur’an dengan Al-Qur’an. Jika tidak didapati
dalam al-Qur’an, baru dicari dalam hadits. Jika penjelasan ayat tidak dijumpai
dalam hadits, dicari dari perkataan shahabat. Kalau juga tidak didapati,
maka dicari dalam perkataan tabi’în. Ayat
Al-Qur’an harus ditafsirkan menurut bahasa Al-Qur’an dan hadits. Di sini tampak
bahwa Ibnu Taimiyah adalah pembaharu yang mempergunakan metode berpikir kaum
salaf.
Ketiga, karena untuk kembali pada Al-Qur’an dan hadits
diperlukan ijtihad, maka ia menentang taklid. la menolak sikap umat Islam yang
mengekor pada para mujtahid yang telah mendahului mereka, sementara pokok
persoalan sudah berubah. Taqlîd
adalah sikap yang membuat umat Islam mundur, sebab taqlîd berarti menutup pintu ijtihad, membuat otak menjadi beku. Pahadal sudah
sangat lama umat Islam berada dalam kegelapan akibat pintu ijtihad dinyatakan
tertutup. Menurutnya, ijtihad terbuka sepanjang masa, karena kondisi manusia
selalu berubah. Perubahan itu harus selalu diikuti oleh perubahan hukum yang
sumbernya dari wahyu. Di sinilah fungsi ulama membimbing perubahan masyarakatnya
sesuai dengan petunjuk wahyu.
Keempat, di dalam berijitihad tidak terikat pada madzhab
atau imam. Menurut Ibnu Taimiyah, pendapat siapa saja yang lebih tepat dan kuat
argumennya, itulah yang diambil. Pengambilan pendapat dan argumen itu bukan
didasarkan atas kemauan nafsu. Semua pendapat harus mempunyai alasan yang dapat
dipertanggungjawabkan.
Kelima, dalam bidang hukum Islam, Ibnu Taimiyah
menawarkan suatu metode baru. Ia tidak mendasarkan keputusan hukum berdasarkan
pada ‘illat, tetapi berdasarkan hikmah. Penerapan hukum Islam hendaknya
mempertimbangkan aspek-aspek hikmah dalam keputusan hukum tersebut. Di sinilah
sesungguhnya letak relevansi sekaligus keluwesan Ibnu Taimiyah dalam merumuskan
ushul fiqh yang menjadi ijtihadnya.
2. Muhammad Ibn Abdul Wahhab (1730-1791)
Nama lengkapnya Muhammad Ibn Abdul Wahhab Ibn Sulayman Ibn Ali Ibn
Muhammad Ibn Ahmad Ibn Rashid al-Tamimi. Ia lahir di Uyaynah pada 1730 M/l115
H. Ayah dan kakeknya adalah ulama terkenal di Najd .
Dari ayahnya ia memperoleh pendidikan di bidang keagamaan dan mengembangkan
minatnya di bidang tafsir, hadits, dan hukum madzhab Hanbaliyah. Untuk
meningkatkan pengetahuannya ia banyak melakukan perjalanan mencari ilmu. Ia
juga membaca karya-karya Ibn Taimiyah dan Ibn al-Qayyim al-Jauziyah, sehingga
ia benar-benar menjadi seorang ulama, ahli hukum dan pembaharu ternama.
Proses pembaharuannya dimulai dengan banyak menyampaikan ceramah dan
khutbah dengan berani dan antusiasme. Oleh karena itu, ia cepat memperoleh
banyak pendukung. Pada permulaan ini pula ia melahirkan karya terkenal berjudul
Kitâb al-Tauhîd. Setelah kematian ayahnya pada 1740, Muhammad Ibn Abdul
Wahhab semakin populer dan gerakannya mendapat dukungan dari pemerintah
Kerajaan Ibn Saud.
Inti gerakan pembaharuannya adalah; pertama, pembaharuan Islam
yang paling utama disandarkan pada persoalan tauhid. Dalam hal ini, Muhammad
Ibn Abdul Wahhab dan para pengikutnya membedakan tauhid menjadi tiga macam; tauhîd
rubûbiyah, tauhîd ulûhiyah dan tauhîd al-asmâ’ wa al-sifât (C.M.Helm, 1981: 88-89). Menurut Abdul Wahhab, Allah adalah Tuhan alam
semesta yang maha kuasa, dan melarang penyifatan kekuasaan Tuhan pada siapapun
kecuali Dia. Dialah yang menciptakan manusia dan alam dari tiada. Eksistensi
Allah dapat dirasakan melalui tanda-tanda dan ciptaan-Nya yang tersebar di seluruh
alam, seperti siang dan malam, matahari dan bulan, gunung-gunung dan
sungai-sungai, dan seterusnya. Allah adalah Tuhan yang berhak disembah. Segala
urusan manusia sehari-hari harus didasarkan pada Al-Qur’an dan Sunnah Nabi. Tuhan sama sekali tidak dapat dibandingkan dengan
apapun (QS. Asy-Syûrâ/42: 11). Baik dan buruk berasal
dari Allah dan manusia tidak bebas berkehendak. Wahhab tidak mempercayai
superioritas ras; superioritas atau inferioritas tergantung pada ketaqwaan pada
Allah. Tauhîd ulûhiyyah dipandang sebagai tauhîd amalî. Tauhid ini didasarkan atas rukun Islam dan rukun Iman. Yang termasuk
dalam tauhid ini adalah semua bentuk ibadah harian, keyakinan dan tindakan iman
serta perjuangan dengan penuh kecintaan, ketaqwaan, harapan dan kepercayaan
pada Allah.
Wahhab percaya pada makna harfiah Al-Qur’an termasuk ungkapan-ungkapan
antropomorfisme tentang Allah; tetapi bukan berarti ini mengharuskan
antropomorfisme bagi Allah. Ia berpendapat bahwa orang beriman akan melihat Allah
di surga, tetapi bentuk dan rupa Allah melampaui akal manusia (Saedullah, 1973:
138).
Kedua, Wahhab sangat tidak setuju dengan para
pendukung tawashshul. Menurutnya, ibadah adalah cara manusia berhubungan
dengan Tuhan. Usaha mencari perlindungan kepada batu, pohon dan sejenisnya
merupakan perbuatan syirik. Demikian juga bertawassul kepada orang yang sudah
mati atau kuburan orang suci sangat dilarang dalam Islam dan Allah tidak akan
memberikan ampunan bagi mereka yang melakukan perbuatan demikian. Ini bukan
berarti ziyarah kubur tidak diperkenankan, namun perbuatan-perbuatan bid’ah,
takhayul dan khurafat yang mengiringi ziyarah semestinya dihindarkan
agar iman tetap suci dan terpelihara (Ayman al-Yassini, 1995: 307-308).
Ketiga, sumber-sumber syari’ah Islam adalah Al-Qur’an
dan Sunnah. Menurutnya, Al-Qur’an adalah firman Allah yang tak tercipta, yang
diwahyukan pada Muhammad melalui malaikat Jibril; ia merupakan sumber paling
penting bagi syari’ah. Ia hanya mengambil keputusan berdasarkan ayat-ayat muhkamât dan tidak berani mempergunakan akal dalam menafsirkan ayat-ayat mutasyâbihât. Maka, ia menyarankan agar kaum Muslim mengikuti penafsiran Al-Qur’an
generasi al-salaf al-shâlih.
Sementara itu, Sunnah Nabi adalah sumber terpenting kedua. Sedangkan ijma’ adalah
sumber ketiga bagi syari’ah dalam pengertian terbatas; ia hanya mempercayai
kesucian ijma’ yang berasal dari tiga abad pertama Islam, karena hadits yang
memuat Sunnah Nabi sebagai jawaban atas setiap masalah, dikembangkan Muslim
selama 3 abad pertama (D.S. Margouliouth, t.th.: 661). Ia menolak ijma’ dari
generasi belakangan. Oleb karena itu, menurutnya semua komunitas Muslim dapat
melakukan kesalahan dalam menyusun hukum-hukum secara independen melalui proses
ijma’.
Wahhab juga akan tetap memilih mengikuti hadits yang otentik daripada
pendapat para ulama yang menjadi idolanya, sekalipun seperti Ahmad Ibn Hanbal,
Ibn Taimiyah dan Ibn al-Qayyim. Jadi, ia percaya bahwa hukum Islam dan dinamika
kehidupan Muslim akan tetap hidup dengan menekankan pentingnya ijtihad terhadap
Al-Qur’an dan Sunnah. Namun demikian, ia tidak keberatan bagi siapapun untuk
mengikuti salah satu dari empat madzhab Imam asalkan sesuai dengan Al-Qur’an
dan Sunnah.
Keempat, serupa dengan Ibn Taimiyah, Wahhab menyatakan
pentingnya negara dalam memberlakukan secara paksa syari’ah dalam masyarakat
yang otoritas tertinggi ada di tangan khalifah atau imam yang harus bertindak
atas dasar saran ulama dan komunitasnya. Jika seseorang menjadi khalifah dengan
konsensus komunitas Muslim, maka ia harus ditaati. Ia juga memandang sah upaya
penggulingan khalifah yang tidak kompeten oleh Imam yang kompeten melalui
kekerasan dan paksaan. Namun demikian, khalifah yang tidak kompeten tetap harus
dipatuhi sepanjang ia melaksanakan syari’ah dan tidak menentang ajaran-ajaran Al-Qur’an
dan sunnah. Wahhab juga memuji pentingnya jihad untuk melaksanakan syari’ah
sekaligus menyebarkan syiar Allah ke seluruh penjuru dunia (R.B.Winder, 1965: 12).
Pembaharuan Muhammad Ibn Abdul Wahhab memurnikan Islam dari segala bid’ah,
takhayul dan khurafat, tampaknya menjadi inspirasi bagi
gerakan-gerakan pembaharuan yang terjadi di dunia Muslim dari waktu ke waktu.
Di negara Arab sendiri ajaran-ajaran Wahhab kemudian menjadi Wahhabi karena
dukungan Ibn Saud dan putranya Abdul Aziz.
3. Jamaluddin al-Afghani
(1838/1839-1897)
Jamaluddin al-Afghani lahir di
Asadabad , Afghanistan
pada 1838/1839. Meskipun lahir di
Afghanistan , ia
berasal dari keluarga Syi’ah Iran. Namun, tidak ada bukti yang menguatkan bahwa
ia mengidentifikasi dirinya sebagai seorang Syi’ah. Pendidikan dasarnya
diperoleh di tanah kelahirannya, yakni Asadabad. Kemudian ia melanjutkan
pendidikan di kota-kota suci kaum Syi’ah pada 1805. Di sinilah ia banyak
dipengaruhi para filosof rasionalis Islam seperti Ibnu Sina dan Nasir al-Din
al-Tusi.
Perjalanan hidup Jamaluddin sebenarnya lebih mirip seorang politik dari pada
pembaharu Islam (L. Stoddard, 1921: 21). Hal ini terbukti dari aktivitas yang
ia lakukan. Pada umur 22 tahun ia menjadi pembantu Pangeran Dost Muhammad Khan
di Afghanistan. Pada 1864 ia menjadi penasihat Sher Ali Khan. Beberapa tahun
kemudian diangkat menjadi perdana menteri oleh Muhammad Azam Khan.
Jamaluddin pernah tinggal di India meskipun tidak lama. Setelah
itu menetap di Mesir dari 1871 hingga
l879 dengan bantuan dana Riyad Pasha. Di kota
ini, ia menghabiskan waktunya untuk mengajar dan memperkenalkan penafsiran filsafat Islam. Ketika Mesir
berada dalam krisis politik dan keuangan pada akhir 1870, tokoh ini mendorong
para pengikutnya untuk menerbitkan surat
kabar politik. Ia banyak memberikan ceramah dan melakukan aktivitas politik
sebagai pemimpin gerakan bawah tanah. Para
pengikutnya antara lain Muhammad Abduh, Abdullah Nadim, Sa’ad Zaghlul, dan
Ya’kub Sannu. Pada 1889 ia membentuk partai Hizbul Wathani dan berhasil
menggulingkan Raja Mesir Khedewi Ismail, meskipun kemudian ia diusir oleh
penguasa baru Tawfik (Harun Nasution,
1975: 54-55).
Kemudian, Jamaluddin pergi ke Paris
dan bersama-sama muridnya yang bernama
Muhammad Abduh, menerbitkan majalah al-‘Urwah al Wutsqa. Pada
tahun 1884 pergi ke Inggris untuk berunding dengan Sir Henry Drummond Wolff
tentang masalah Mesir. Dua tahun kemudian, pergi ke Iran untuk membantu penyelesaian
sengketa Rusia dan Iran .
Akhirnya diusir keluar Iran
oleh penguasa Syah Nasir al-Din karena perbedaan faham.
Sultan Ottoman Abdul Hamid II mengundang Jamaluddin ke Istambul untuk
membantu pelaksanaan politik Islam yang direncanakan Istambul. Pengaruh
Jamaluddin yang cukup besar, membuat Abdul Hamid khawatir jika posisinya akan
terongrong. Selanjutnya Abdul Hamid mengeluarkan kebijakan untuk membatasi
aktivitas politik Jamaluddin. Di kota
inilah Jamaluddin tinggal hingga akhir hayatnya, meninggal pada 1897 karena penyakit kanker.
Meskipun karirnya lebih menggambarkan sebagai tokoh politik, Jamaluddin
al-Afghani telah berjasa memberikan kontribusi bagi pembaharuan Islam modern.
Pengalamannya berkelana ke Negara-negara Barat, membawa pada suatu kesimpulan bahwa dunia Islam dalam keadaan
mundur, sementara Barat mengalami kemajuan. Ini mendorongnya untuk melahirkan
pemikiran-pemikiran baru. Pemikiran pembaharuannya didasarkan pada keyakinan
bahwa Islam adalah agama yang sesuai untuk semua bangsa, zaman, dan keadaan.
Jika ada pertentangan, perlu dilakukan penyesuaian dengan mengadakan
interpretasi baru terhadap ajaran Islam. Kemunduran umat Islam, menurutnya,
disebabkan karena mereka statis, taqlîd dan
fatalis. Umat Islam telah meninggalkan ajaran Islam yang sebenarnya, al-Islâm
mahjûbun bi al-Muslim. Umat Islam juga terbelakang dari segi pendidikan dan
kurang pengetahuan mengenai dasar-dasar ajarannya, serta lemah rasa
persaudaraan akibat perpecahan internal.
Untuk mengatasi keterbelakangan dan kemunduran tersebut, Jamaluddin
mengemukakan dan memperjuangkan gagasan pembaharuannya meliputi: pertama,
dari sudut pandang Islam tradisional, Jamaluddin mengemukakan pentingnya
kepercayaan pada akal dan hukum alam, yang tidak bertentangan dengan
kepercayaan pada Tuhan. Jamaluddin mengajarkan hal yang dibela oleh para
filosof, mendakwahkan agama dan rasionalisme kepada massa , serta hukum alam pada para elite
Muslim. Ia berusaha mengelaborasi interpretasi Islam modernis dan pragmatis
(Nikki R. Keddie, 1995: 25-27).
Kedua, Jamaluddin berhasil mendukung kebangkitan
nasionalisme di Mesir dan India .
Lebih luas dari itu, juga menawarkan
gagasan dan gerakan Pan-Islam sebagai anti-imperialisme dan mempertahankan
kemerdekaan Negara-negara Muslim. Pan-Islam dalam pengertian kesatuan politik
atau lebih umum kesatuan Negara-negara Gerakan Muslim tersebut, semakin menguat
dan mampu menggalang solidaritas Muslim untuk menentang Kristen dan penjajah
Barat. Dikombinasikan dengan aktivitas anti-Inggris inilah yang membuat
Jamaluddin semakin populer di dunia Islam saat itu. Maka jasanya adalah memberikan kontribusi pemikiran Islam modern
khususnya berkenaan dengan politik (Nikki R. Keddie, 1995: 25-27).
Ketiga, Jamaluddin menyatakan ide tentang persamaan
antara pria dan wanita dalam beberapa hal. Wanita dan pria sama kedudukannya,
keduanya mempunyai akal untuk berpikir. Tidak ada halangan bagi wanita untuk
bekerja di luar rumah, jika situasi menuntut semacam itu. Dengan demikian,
Jamaluddin menginginkan agar wanita juga meraih kemajuan dan bekerjasama dengan
pria untuk mewujudkan umat Islam yang maju dan dinamis ( Dewan Redaksi Ensiklopedi
Islam, 1993: 300).
4. Muhammad Abduh (1848-1905)
Muhammad Abduh lahir pada 1848 M di sebuah desa di Propinsi Gharbiyyah,
Mesir. Ayahnya bernama Abduh Ibn Hasan Khair Allah, dan nama lengkapnya adalah
Muhammad Abduh Ibn Hasan Khair Allah. Abduh berasal dari keluarga petani yang
sederhana, taat dan cinta ilmu. Ia belajar membaca dan menulis dari orang
tuanya. Dalam waktu dua tahun telah mampu menghafal seluruh isi Al-Qur’an
(Muhammad Abduh, t.th.: 28). Pendidikan selanjutnya di Thanta. Namun tidak puas
karena metode pengajaran di Thanta diutamakan hafalan tanpa pengertian, sama
halnya dengan metode pengajaran yang umum diterapkan di dunia Islam ketika itu,
kemudian kembali ke kampungnya. Orang tuanya memerintahkan Abduh agar kembali ke
Masjid Ahmadi di Thanta, dan berguru kepada Syekh Darwisy. Bimbingan dari Syekh yang dengan tekun untuk menumbuhkan kembali sikap
cintanya pada ilmu dan mengarahkannya pada kehidupan sufi. Kemudian melanjutkan studi di al-Azhar, namun hanya
mendapatkan pelajaran agama saja. Di Universitas ini ditemukan metode
pengajaran yang sama dengan di Thanta. Pada 1871, Abduh bertemu dengan
Jamaluddin al-Afghani dan memperoleh
pengetahuan filsafat, ilmu kalam dan ilmu pasti (Albert Hourani, 1962: 108).
Pertemuannya dengan Jamaluddin membuatnya semakin kecewa terhadap metode
pengajaran al-Azhar, dengan mengungkapkan pernyataannya yang penuh dengan rasa kekecewaan, bahwa metode pengajaran yang verbalis itu
merusak akal dan daya nalar. Rasa kecewa itulah yang menyebabkannya menekuni
berbagai masalah agama, sosial, politik, dan kebudayaan. Abduh juga terlibat
dalam kegiatan politik praktis yang berujung pada pengasingannya ke luar negeri
dengan tuduhan terlibat dalam pemberontakan yang dimotori oleh ‘Urabi Pasya pada
tahun 1882 (Charles J. Adams, 1933: 52). Ia tambah bersemangat melancarkan
kegiatan politik dan dakwah, di tempat pengasingannya di Paris, bukan hanya
ditujukan kepada rakyat Mesir, tetapi juga kepada penganut Islam di seluruh dunia.
Bersama Jamaluddin menerbitkan majalah dan membentuk gerakan yang disebut
dengan al-’Urwah al-Wutsqa. Ide gerakan ini membangkitkan semangat umat
Islam untuk bangkit melawan kekuasaan Barat (Lothrop Stoddard, 1966: 46-80).
Umur majalah tersebut tidak lama karena pemerintah kolonial melarang
peredarannya di daerah-daerah yang mereka kuasai. Setelah penerbitannya
dihentikan, ia mengunjungi Tunis
dan beberapa negara Islam lainnya, sebelum akhirnya kembali ke Beirut pada tahun 1884.
Abduh lebih banyak menulis dan
menerjemahkan kitab-kitab ke dalam bahasa Arab di Beirut. Di kota inilah ia menyelesaikan Risâlah al-Tauhîd.
Pada tahun 1888 ia kembali ke Mesir setelah masa pengasingannya berakhir.
Karir Abduh memasuki babakan baru. Kesan keterlibatan Muhammad Abduh dalam
Pemberontakan ‘Urabi Pasya tampaknya belum terhapus di hati Khedewi Tawfik
penguasa Mesir saat itu. Permohonan Abduh agar ia diizinkan mengajar di Dar
al-‘Ulum ditolaknya. Sebaliknya ia menawarkan kepada Abduh jabatan hakim di kota Benha dan di luar kota Kairo. Abduh
sebenarnya tidak menyenangi jabatan tersebut. Ia melihat tidak ada jalan lain
yang lebih baik, maka menerima tawaran tersebut. Jabatan itu diterima dan
dimanfaatkan untuk merealisasi cita-cita pembaharuannya. Ia juga menjabat
sebagai penasehat pada Mahkamah Tinggi di Kairo.
Pembaharuan yang dilakukannya menyangkut sistem pengajaran, seperti
metode, kurikulum, administrasi dan kesejahteraan para guru, bahkan juga
mencakup sarana fisik, seperti asrama mahasiswa, perpustakaan, dan peningkatan
pelayanan kesehatan bagi mahasiswa (Harun Nasution, 1987: 20-21). Dampak
positif dari pembaharuannya antara lain tampak pada jumlah murid yang diuji
setiap tahun. Kalau sebelumnya murid yang bersedia diuji setiap tahun hanya
lebih kurang enam orang, maka setelah pembaharuan jumlah tersebut meningkat
menjadi sembilan puluh lima
orang dan sepertiganya berhasil lulus.
Kedua, pembaharuan di bidang hukum. Sebagai mufti di
tahun 1899, menggantikan Syekh Hasunah al-Nadawi, memberi peluang baginya untuk
mengadakan pembaharuan di bidang tersebut. Usahanya yang pertama adalah
memperbaiki kesalahan pandangan masyarakat, bahkan pandangan para mufti sendiri
tentang kedudukan mereka sebagai hakim. Para
mufti berpandangan bahwa sebagai mufti yang ditunjuk negara tugas mereka hanya
sebagai penasihat hukum bagi kepentingan negara. Mereka melepaskan diri dari
orang yang mencari kepastian hukum. Di luar itu seakan tidak menjadi urusannya.
Pandangan ini diluruskan oleh Abduh dengan jalan memberi kesempatan kepada
siapa pun yang memerlukan jasanya. Mufti baginya bukan hanya berkhidmat untuk
negara, tetapi juga untuk masyarakat luas. Agaknya ada makna positif dari usaha
Abduh terutama bagi masyarakat, yaitu agar kehadiran mereka tidak hanya
dibutuhkan oleh negara, tetapi juga oleh masyarakat (Arbiyah Lubis, 1993: 118).
Ketiga, wakaf juga merupakan institusi yang menjadi
perhatiannya. Wakaf merupakan sumber dana yang sangat berarti pada masa itu,
sedangkan dalam pengelolaan administrasi sangat tidak efektif. Untuk itu ia
membentuk Majelis Administrasi Wakaf dan
duduk sebagai anggota. Abduh
berhasil memasukkan perbaikan masjid sebagai salah satu sasaran rutin penggunaan
dana wakaf, maka mulailah memperbaiki perangkat masjid, pegawai masjid sampai
kepada para imam dan khatib. Perhatian Abduh terhadap perbaikan masjid ini
dilatarbelakangi oleh situasi masjid-masjid di Mesir. Misalnya dalam
penyampaian khutbah yang tidak bersifat mendidik, tetapi lebih menjurus kepada
penyuguhan masalah-masalah hukum yang kurang beralasan dan tidak dapat
dipegangi (Al-Manar, Vol. VIII: 491). Itulah sebabnya ia menetapkan beberapa
persyaratan bagi para khatib, antara lain mengharuskan mereka yang dari
al-Azhar, agar salah paham terhadap ajaran agama dapat dikurangi.
Berdasarkan uraian di atas dapat diketahui bahwa periode yang paling
penting dalam perjalanan hidup Muhammad Abduh adalah periode setelah kembali dari pengasingan. J. Adams (1933: 18)
melukiskannya sebagai periode berada di puncak karir, karena pada masa itu
dapat merealisasi cita-cita pembaharuan, mengemukakan ide, dan pemikirannya
tentang Islam, yang mengangkat namanya ke permukaan dan dikenal ke hampir
seluruh penjuru dunia Islam.
Namun demikian, tidak semua ide dan pemikiran pembaharuan yang dibawanya
dapat diterima oleh penguasa dan pihak al-Azhar. Penghalang utama yang dihadapi
adalah para ulama yang berpikiran statis beserta orang awam yang dapat mereka
pengaruhi. Khedewi sendiri pun akhirnya tidak menyetujui pembaharuan fisik yang
dibawanya, terutama tentang institusi wakaf, yang menyangkut dengan masalah
keuangan. Mungkin karena melihat sukarnya penghalang yang harus dilalui, maka
pada tahun 1905 bersama-sama dengan ‘Abd al-Karim Salman dan Syekh Sayyid
al-Hambali mengundurkan diri dari Dewan
Pimpinan al-Azhar. Dengan mengundurkan diri tersebut beberapa rencana yang
telah disusunnya tidak dapat lagi dilaksanakan. Beberapa bulan kemudian jatuh sakit pada suatu malam ketika berangkat ke Eropa. Seminggu kemudian wafat, tepat pada 11 Juli 1905.
5. Muhammad Rasyid Ridha
Muhammad Rasyid Ridha lahir di Suriah pada
tahun 1865 dan wafat tahun 1935. Seorang pemikir dan ulama pembaru dalam Islam
di Mesir pada awal abad ke-20. la dilahirkan dan dibesarkan di lingkungan
keluarga terhormat dan taat beragama. Ada
riwayat yang menyebutkan bahwa Muhammad Rasyid Ridha berasal dari keturunan
Nabi Muhammad SAW melalui garis keturunan Husein bin Ali bin Abi Talib. Itulah
sebabnya ia memakai gelar sayyid.
Pendidikannya
diawali dengan membaca Al-Qur’an, menulis dan berhitung di kampungnya, Qalamun,
Suriah. Berbeda dengan anak-anak seusianya, Muhammad Rasyid Ridha lebih senang
menghabiskan waktunya untuk belajar dan membaca buku dari pada bermain. Sejak
kecil ia telah memiliki kecerdasan yang tinggi dan kecintaan terhadap ilmu
pengetahuan.
Setelah
lancar membaca dan menulis, Muhammad Rasyid Ridha masuk ke Madrasah ar-Rasyidiyah,
yaitu sekolah milik pemerintah di kota
Tripoli . Di sekolah
itu ia belajar ilmu bumi; ilmu berhitung; ilmu bahasa, seperti nahwu dan saraf
(ilmu tata bahasa Arab); dan ilmu-ilmu agama,
seperti akidah dan ibadah. Hanya setahun ia belajar di sini, karena ternyata
sekolah itu khusus diperuntukkan bagi mereka yang ingin menjadi pegawai
pemerintah, sedangkan ia tidak berminat mengabdi untuk pemerintah.
Ketika
berumur 18 tahun, Ridha kembali melanjutkan studinya dan sekolah yang
dipilihnya adalah Madrasah al-Wathaniyyah al-Islamiyyah yang didirikan Syekh
Husain al-Jisr. Dibandingkan dengan Madrasah ar-Rasyidiyah, madrasah ini jauh
lebih maju, baik dalam sistem pengajaran maupun materi yang diajarkan. Di
sini belajar mantiq, matematika, dan
filsafat, di samping juga ilmu-ilmu agama. Gurunya, Syekh Husain al-Jisr,
dikenal sebagai seorang yang banyak berjasa dalam menumbuhkan semangat ilmiah
dan ide pembaruan dalam diri Rasyid Ridha di kemudian hari. Di antara
pikiran-pikiran gurunya yang sangat mempengaruhi ide pembaruan Rasyid Ridha
adalah bahwa satu-satunya jalan yang harus ditempuh umat Islam untuk mencapai
kemajuan adalah memadukan pendidikan agama dan pendidikan umum dengan
menggunakan metode Eropa. Syekh Husain al-Jisr berpendapat demikian karena
sekolah-sekolah yang didirikan bangsa Eropa dan Amerika di Suriah saat itu banyak
diminati anak-anak pribumi. Keadaan ini justru mengkhawatirkan al-Jisr karena
di sekolah-sekolah itu tidak disajikan materi pelajaran agama.
Selain
menekuni pelajarannya di Madrasah al-Wathaniyyah al-Islamiyyah, Rasyid Ridha
juga tekun mengikuti berita perkembangan dunia Islam melalui surat kabar al-`Urwah al-Wutsqa
(Ikatan Yang Kuat; surat kabar berbahasa Arab yang dipimpin oleh
Jamaluddin al-Afghani dan Muhammad Abduh, diterbitkan di pengasingan mereka di
Paris). Melalui surat
kabar ini Rasyid Ridha mengenal gagasan dua tokoh pembaharu yang sangat dikaguminya,
yaitu Jamaluddin al-Afghani dan Muhammad Abduh. Ide-ide pembaruan yang dikumandangkan
oleh kedua tokoh itu melalui surat
kabar al-`Urwah al-Wutsqa sangat berkesan dalam diri Rasyid Ridha dan menimbulkan keinginan yang
kuat di hatinya untuk bergabung dan berguru pada keduanya.
Keinginan
Rasyid Ridha untuk bertemu al-Afghani tidak tercapai karena ia lebih dahulu
meninggal sebelum Rasyid Ridha sempat menjumpainya. Sebaliknya, Muhammad Abduh
sempat dijumpainya ketika yang disebut terakhir ini berada dalam pembuangannya,
di Beirut. Pertemuan dan dialog-dialog
antara Ridha dan Abduh semakin menumbuhkan semangat juang dalam dirinya
untuk melepaskan umat Islam dari belenggu keterbelakangan dan kebodohannya.
Rasyid Ridha banyak menyerap pikiran-pikiran dan pandangan-pandangan Muhammad
Abduh dalam usaha memajukan umat Islam.
Setelah
Muhammad Abduh diizinkan kembali ke Mesir, ia kemudian mengikutinya pada tahun
1898. Setibanya di Mesir , ia mengusulkan kepada gurunya, Muhammad
Abduh, agar menerbitkan sebuah majalah yang akan menyiarkan ide-ide dan
pikirannya. Atas dasar ini terbitlah sebuah majalah yang diberi nama al-Manar,
nama yang diusulkan Rasyid Ridha dan
disetujui Muhammad Abduh. Dalam terbitan perdananya dijelaskan bahwa tujuan al-Manar
sama dengan al-`Urwah al-Wutsqa,
yaitu untuk memajukan umat Islam dan
menjernihkan ajaran Islam dari segala paham yang menyimpang.
Setahun
setelah al-Manar terbit, ia
mengajukan saran kepada gurunya agar menafsirkan Al-Qur’an dengan tafsiran yang
relevan dengan tuntutan zaman. Ketika itu Muhammad Abduh aktif mengajar tafsir
Al-Qur’an di al-Azhar. Sebagai murid, Rasyid Ridha mencatat kuliah-kuliah
gurunya, lalu catatannya itu diserahkan kepada gurunya untuk dikoreksi Selesai diperiksa, catatan itu diterbitkan
dalam majalah al-Manar. Kumpulan
tulisan mengenai tafsir yang termuat dalam majalah al-Manar inilah yang kemudian dibukukan menjadi Tafsir
al-Manar. Sampai wafatnya, Muhammad Abduh hanya
sempat menafsirkan hingga surah an-Nisa' ayat 125. Penafsiran ayat-ayat selanjutnya dilakukan oleh
Rasyid Ridha sendiri.
Rasyid Ridha
juga seorang pengikut tarekat, yaitu Thareqat Naqsyabandiyah. Berdasarkan
pengalamannya di dunia tarekat, ia menyimpulkan bahwa ajaran-ajaran tarekat
yang berlebihan dalam cara beribadat dan pengkultusan seorang guru membuat
seseorang mempunyai sikap statis dan pasif. Sikap-sikap seperti itu jelas
merugikan umat Islam.
Ide-ide
pembaharuan penting yang dibawa Rasyid Ridha adalah dalam bidang agama, bidang
pendidikan, dan bidang politik. Dalam bidang agama ia berpendapat bahwa umat
Islam lemah karena mereka tidak lagi mengamalkan ajaran-ajaran agama Islam
yang murni seperti yang dipraktekkan pada masa Rasulullah SAW dan
sahabat-sahabatnya, melainkan ajaran-ajaran yang sudah banyak bercampur dengan bid’ah dan khurafat.
Selanjutnya ia menegaskan, jika umat Islam ingin maju, mereka harus kembali
berpegang kepada Al-Qur'an dan sunnah Rasulullah SAW dan tidak terikat dengan
pendapat-pendapat ulama terdahulu yang tidak lagi sesuai dengan tuntutan hidup
modern. Mengenai ajaran Islam, Rasyid Ridha membedakan antara masalah
peribadatan (yang berhubungan dengan Tuhan) dan masalah muamalah (yang
berhubungan dengan manusia). Yang pertama telah tertuang dalam teks Al-Qur'an yang qath`i
(tunjukannya jelas, pasti) dan hadits mutawatir.
Menurutnya, untuk hal yang kedua ini akal
dapat digunakan sepanjang tidak menyimpang dari prinsip-prinsip dasar ajaran
Islam. Rasyid Ridha kemudian menyoroti paham fatalisme yang menyelimuti umat
Islam waktu itu. Menurut Rasyid Ridha, ajaran Islam sebenarnya mengandung paham
dinamika, bukan fatalisme. Paham dinamika inilah yang membuat dunia Barat maju.
Rasyid Ridha menjelaskan paham dinamika dalam Islam dengan mengambil bentuk
jihad, yaitu kerja keras dan rela
berkorban demi mencapai keridaan Allah SWT. Etos jihad inilah yang mengantarkan
umat Islam ke puncak kejayaannya pada zaman klasik. Idenya yang lain adalah
toleransi bermadzhab. Rasyid Ridha melihat fanatisme madzhab yang tumbuh di
kalangan umat Islam mengakibatkan perpecahan dan kekacauan. Oleh karena itu,
perlu dihidupkan toleransi bermadzhab, bahkan dalam bidang hukum perlu
diupayakan penyatuan madzhab, walaupun ia sendiri pengikut setia Madzhab
Hanbali.
Dalam bidang
pendidikan Rasyid Ridha mengikuti gurunya, Muhammad Abduh. Ridha sangat
menaruh perhatian terhadap pendidikan. Umat Islam hanya dapat maju apabila
menguasai bidang pendidikan. Oleh karena itu, ia selalu menghimbau dan
mendorong umat Islam untuk menggunakan kekayaannya bagi pembangunan lembaga-lembaga
pendidikan. Menurut Rasyid Rida, membangun lembaga pendidikan lebih bermanfaat
dari pada membangun masjid. Apa artinya masjid jika pengunjungnya hanyalah
orang-orang bodoh. Sebaliknya, lembaga pendidikan akan dapat menghapuskan
kebodohan dan pada gilirannya membuat umat menjadi maju dan makmur. Usaha yang
dilakukannya di bidang pendidikan adalah membangun sekolah misi Islam dengan
tujuan utama untuk mencetak kader-kader mubaligh yang tangguh sebagai imbangan
terhadap sekolah misionaris Kristen. Sekolah tersebut didirikan pada tahun 1912
di Cairo dengan
nama Madrasah ad-Da'wah wa al-Irsyad. Di sekolah tersebut diajarkan ilmu agama,
seperti al-Qur’an, tafsir, akhlak dan Hikmah at-tasyrî` (hikmah ditetapkannya syariat), bahasa Eropa, dan ilmu kesehatan.
Setelah itu, Rasyid Ridha mendapat undangan dari pemuka Islam India untuk
mendirikan lembaga yang sama di sana .
Selain aktif
di bidang pendidikan, ia juga aktif berkiprah di dunia politik. Kegiatannya
antara lain menjadi Presiden Kongres Suriah pada tahun 1920, sebagai delegasi
Palestina-Suriah di Jenewa tahun 1921, sebagai anggota Komite Politik di Cairo
tahun 1925, dan menghadiri Konferensi Islam di Mekah tahun 1926 dan di
Yerusalem tahun 1931. Ide-idenya yang penting di bidang politik adalah tentang ukhuwwah
Islâmiyah (persaudaraan
Islam). Ia melihat salah satu penyebab kemunduran umat Islam ialah perpecahan
yang terjadi di kalangan mereka. Untuk itu, ia menyeru umat Islam agar bersatu
kembali di bawah satu keyakinan, satu sistem moral, satu sistem pendidikan,
dan tunduk kepada satu sistem hukum dalam satu kekuasaan yang berbentuk
negara. Akan tetapi, negara yang diinginkan Rasyid Ridha bukan seperti di
Barat, melainkan negara dalam bentuk khilafah (kekhalifahan) seperti pada masa al-Khulafâ' ar-Râsyidûn (empat khalifah besar). Khalifah haruslah seorang mujtahid (ahli
ijtihad) dan dalam menjalankan roda pemerintahannya, ia dibantu oleh para
ulama. Hanya dengan sistem khilafah, ukhuwwah Islâmiyah dapat diwujudkan. Dalam bukunya al-Khilâfah, Rasyid Ridha menjelaskan secara panjang lebar mengenai khilâfah, antara lain disebutkan bahwa fungsi khalifah adalah
menyebarkan kebenaran, menegakkan
keadilan, memelihara agama, dan bermusyawarah mengenai masalah-masalah
yang tidak dijelaskan dalam nash. Khalifah bertanggung jawab atas segala
tindakannya di bawah pengawasan alil al-hall wa al-`aqd yang anggota-anggotanya terdiri atas para ulama dan
pemuka-pemuka masyarakat. Tugas ahl al-hall wa al-`aqd, selain mengawasi jalannya roda pemerintahan, juga mencegah
terjadinya penyelewengan oleh khalifah. Lembaga ini berhak menindak khalifah
yang berbuat dhalim dan sewenang-wenang.
Pengaruh
pemikiran pembaharuan Rasyid Ridha dan gurunya, Muhammad Abduh, terasa sampai
ke Indonesia .
Ide-idenya yang terkandung dalam majalah al-Manar, khususnya mengenai pemberantasan bid’ah dan khurafat, banyak mengilhami timbulnya
gerakan pembaharuan di Indonesia .
Bukti-bukti yang dapat dikemukakan sebagai adanya pengaruh ide-ide Rasyid Ridha
di Indonesia, antara lain, terbitnya majalah al-Munir di Padang yang dikelola oleh ulama-ulama yang
pernah belajar di Mekah. Majalah ini mengulas berita-berita yang dimuat dalam
majalah al-Manar. Ulama-ulama Indonesia
banyak yang tertarik untuk membaca al-Manar, baik semasa berada di Mekah maupun
setelah kembali ke Indonesia .
Hal ini ditandai dengan munculnya pertanyaan ulama Indonesia terhadap Rasyid Ridha
melalui al-Manar mengenai nasionalisme, patriotisme, dan semangat ukhuwwah Islâmiyah (Dewan Redaksi Ensiklopedi
Islam, Jilid 3, 1993: 255-257)
F. Gerakan Pembaharuan Islam
di Indonesia
1. Jami’atul
Khair dan Al-Irsyad
Gerakan pembaharuan di Indonesia mulai berakar pada
permulaan abad 20, yang berkembang dari waktu ke waktu selama empat dasawarsa. Perkembangan dan penyebarannya pun semakin
luas. Satu hal penting, pembaharuan Islam di Indonesia tidak terlepas dari
pengaruh pembaharuan yang terjadi Timur Tengah dan Mesir, terutama
pemikiran-pemikiran para tokoh yang telah disebut di depan, yaitu Ibnu
Taimiyah, Muhammad ibn Abdul Wahhab, Jamaluddin al-Afghani, Muhammad Abduh, dan
Rasyid Ridha. Dalam hal pemurnian, gerakan pembaharuan Islam di Indonesia
banyak diilhami oleh Ibnu Taimiyah dan Muhammad ibn Abdul Wahhab; gerakan
pendidikan dipengaruhi oleh Muhammad Abduh; sedangkan gerakan politik
dipengaruhi oleh Jamaluddin al-Afghani. Buku
ini bukan tempatnya menunjukkan pengaruh langsung atau tidak langsung dari
gerakan-gerakan tersebut.
Organisasi pembaharuan pertama yang didirikan di Indonesia adalah
Jami’atul Khair, pada 15 Juli 1905. Pendirinya bernama Sayid Muhammad al-Fatch ibn Abdurrahman
al-Masjhur, Sayid Muhammad ibn Abdullah ibn Sjihab, Sayid Idrus ibn Ahmad ibn
Sjihab dan Sayid Sjehan ibn Sjihab. Meskipun organisasi ini mayoritas
anggotanya adalah orang-orang Arab, tetapi terbuka untuk setiap Muslim tanpa
diskriminasi. Kegiatan yang menjadi perhatian organisasi ini meliputi dua
bidang; pendirian dan pembinaan sekolah pada tingkat dasar dan pengiriman
anak-anak muda ke Turki untuk melanjutkan studi.
Pentingnya Jami’atul Khair terletak pada kenyataan bahwa organisasi
inilah yang memulai organisasi modern dalam masyarakat Islam (yaitu dengan
adanya anggaran dasar, daftar anggota tercatat, dan rapat-rapat berkala) dan
mendirikan sekolah yang menerapkan sistem modern (adanya kurikulum, sistem
klasikal, dan perlengkapan kelas).
Namun demikian, umur organisasi ini tidak panjang. Setelah kedatangan
Ahmad Soorkati dan kawan-kawannya sebagai guru di sekolah Jami’atul Khair, di
samping mengajarkan pelajaran-pelajaran umum, juga menekankan daya kritik
dan pemikiran kembali kepada Al-Qur’an
dan Al-Hadits. Mereka memperkenalkan ide-ide mengenai persamaan sesama Muslim.
Ide yang terakhir inilah yang menyebabkan kedudukan para Sayid merasa terancam.
Dari sinilah benih perpecahan mulai muncul. Akhirnya Ahmad Soorkati keluar dari
Jami’atul Khair dan merintis berdirinya organisasi al-Irsyad.
Al-Irsyad sendiri merupakan organisasi Islam yang secara resmi menekankan
perhatian pada bidang pendidikan, terutama pada masyarakat Arab meskipun
anggotanya ada dari non-Arab. Secara lebih luas sikap dan tujuan organisasi ini
adalah: Menjalankan dengan sungguh-sungguh agama Islam sebagaimana
ditetapkan Al-Qur’an dan sunnah; memajukan hidup dan kehidupan secara Islam
dalam arti kata luas dan dalam; dan membantu menghidupkan semangat untuk
bekerja sama di antara berbagai golongan dalam setiap kepentingan bersama
(Pengurus Besar Al-Irsyad, 1938: 3-7).
Al-Irsyad berjasa dalam mendirikan banyak lembaga sekolah dari tingkat
dasar hingga sekolah guru. Ada
juga sekolah takhasus dengan spesialisasi dalam bidang agama, pendidikan atau
bahasa. Al-Irsyad juga memberikan beasiswa untuk beberapa lulusannya guna
belajar ke luar negeri, terutama ke Mesir. Organisasi ini juga mempergunakan
tabligh dan pertemuan-pertemuan sebagai cara untuk menyebarkan pahamnya. Ia
juga menerbitkan buku-buku dan pamflet-pamflet.
2. Sarekat Islam
Sarekat Islam (SI) berdiri di Solo pada tanggal 11 Nopember 1912. Sarekat
Islam tumbuh dari organisasi yang mendahuluinya, bernama Sarekat Dagang Islam atau
disingkat dengan SDI. Organisasi ini didirikan oleh K.H. Samanhoedi, M.
Asmodimedjo, M. Kertotaruno, M. Sumowerdojo dan M.Hadji Abdulradjak. SDI
terkenal dipimpin Samanhoedi, sedangkan Sarekat Islam (SI) terkenal di tangan
H. Oemar Said Cokroaminoto. Pada awalnya, organisasi ini lahir karena adanya
kompetisi yang meningkat dalam perdagangan batik terutama dengan golongan Cina,
dan sikap superioritas orang Cina terhadap orang Indonesia sehubungan dengan
berhasilnya revolusi Cina pada 1911. Organisasi ini juga dimaksudkan untuk
menjadi benteng bagi orang-orang Indonesia yang umumnya terdiri dari
pedagang-pedagang batik Solo terhadap orang Cina dan para bangsawan (Dewan
Redaksi Ensiklopedi Islam, 1993: 115-116).
Dengan perubahan nama menjadi Sarekat Islam, organisasi ini mengubah
haluan menjadi organisasi yang bergerak di bidang politik. Organisasi ini
perjuangan nya dalam melawan penjajah tidak lagi menggunakan pendekatan
kooperatif, tetapi dengan pendekatan non-kooperatif. SI berkeyakinan bahwa
agama Islam itu membuka pemikiran tentang persamaan derajat manusia sambil
menjunjung tinggi negeri. Mereka tidak mengakui suatu golongan berkuasa di atas
golongan lainnya. Oleh karena itu, segala bentuk penindasan oleh kapitalisme
dan kolonialisme harus dienyahkan. SI menuntut perbaikan nasib rakyat di bidang
agraria dan pertanian dengan menghapuskan undang-undang kolonial tentang
pemilikan tanah; pajak-pajak hendaknya ditarik secara proporsional. Di samping
itu, SI juga mempunyai perhatian di bidang pendidikan. SI menuntut penghapusan
peraturan yang mendiskriminasikan penerimaan murid-murid di sekolah-sekolah; ia
menuntut pelaksanaan wajib belajar untuk semua penduduk, serta perbaikan
lembaga-lembaga pendidikan pada semua tingkat. Sedangkan di bidang agama, SI
menuntut penghapusan segala macam undang-undang dan peraturan yang menghambat
tersebarnya Islam, pembayaran gaji bagi kyai dan penghulu, subsidi
lembaga-lembaga pendidikan Islam, dan pengakuan hari-hari besar Islam.
Meskipun akhirnya SI tidak begitu terdengar gaungnya dalam perjalanan
sejarah, paling tidak ia telah memberi kontribusi bagi perjuangan politik
bangsa Indonesia .
Kini Partai Sarekat Islam Indonesia (PSII) muncul kembali dalam bentuk partai
Islam meskipun meraih suara yang sangat kecil dalam pemilu.
3. Persatuan Islam
Persatuan Islam (Persis) didirikan di Bandung , 17 September 1923 oleh KH. Zamzam, seorang ulama
asal Palembang .
Persatuan Islam bertujuan mengembalikan kaum Muslimin kepada pimpinan Al-Qur’an
dan Sunnah Nabi, dengan jalan mendirikan madsarah-madrasah, pesantren dan
tabligh melalui ceramah-ceramah, menerbitkan majalah, brosur dan buku. Majalah
yang menonjol terbitan Persis adalah “Pembela Islam” dan majalah al-Muslimun,
yang banyak membahas masalah-masalah hukum agama.
Seperti kedua saudaranya yang telah lahir lebih dahulu (Al-Irsyad dan
Muhammadiyah), Persis sangat getol dalam usahanya memberantas segala bentuk takhayul,
bid’ah dan khurafat (TBC). Kegetolannya memberantas TBC semakin
menonjol setelah Persis dipimpin oleh A. Hasan. Perjuangan A. Hasan dalam
memberantas TBC dengan cara yang radikal dan tidak tanggung-tanggung.
Di bawah kepempinan A. Hasan, Persis berkembang pesat terutama di Jawa
Barat dan Jawa Timur. Di antara kader hasil tempaan pendidikan Persis, adalah
ulama terkemuka Dr. Muhammad Natsir, yang pernah menjadi Perdana Menteri RI dan
menduduki jabatan penting dalam lembaga Islam Internasional, seperti Rabithah
Alam Islami dan Muktamar Alam Islami.
4. Muhammadiyah
Muhammadiyah
didirikan oleh KH Ahmad Dahlan pada tanggal 8 Dzulhijjah 1330 Hijriyah bertepatan dengan tanggal 18 November 1912
Miladiyah di Kota Yogyakarta .
Muhammadiyah dikenal sebagai organisasi yang telah menghembuskan jiwa pembaharuan
pemikiran Islam di Indonesia, memberantas TBC, mengusahakan umat Islam kembali
kepada Al-Qur’an dan Sunnah, dan bergerak di berbagai bidang kehidupan umat.
0 comments:
Post a Comment